Bagaimana kita memahami perintah Allah SWT. dalam menyikapi iman dan Islam seseorang? Tidak sedikit umat yang mengaku Islam tetapi tidak melakukan shalat, tidak melaksanakan puasa Ramadhan, tidak menunaikan zakat (walaupun tergolong muzaki), termasuk tidak mau berangkat haji walaupun sudah diberi kecukupan dan kemampuan oleh Allah SWT. Kalau kita baca sejarah kehidupan Rasulullah SAW. dan para sahabatnya, kita tidak akan temukan sahabat yang meninggalkan ajaran Islam. Jangankan para sahabat, orang-orang munafik sekalipun tetap melaksanakan ajaran Islam sekalipun dengan kondisi dan motivasi yang berbeda. Hal ini dengan jelas tergambar dalam ayat berikut,
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَىٰ يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
Inna almunafiqeena yukhadiAAoona Allaha wahuwa khadiAAuhum waitha qamoo ila alssalati qamoo kusala yuraoona alnnasa wala yathkuroona Allaha illa qaleelan
Sesungguhnya orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah-lah yang menipu mereka. Apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud ria (ingin dipuji) di hadapan manusia. Dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali. (QS. An-Nisa: 142)
Dalam hal ini, orang-orang munafik sama-sama melaksanakan ajaran Islam (khususnya ibadah mahdhoh) sebagaimana orang beriman yang lain walaupun malas-malasan dengan motivasi ingin dipuji. Oleh karena itu, para sahabat tidak ada yang tahu siapa saja orang-orang munafik waktu itu. Mereka hanya kenal pentolan munafik Abdullah bin Ubay bin Salul. Para sahabat memang bisa menduga orang munafik dari perilaku keseharian di luar ibadah mahdhoh yang mereka lakukan, tetapi tidak berani/bisa memastikan. Mereka baru tahu seseorang memang termasuk kelompok munafik ketika Rasulullah SAW. tidak mau melakukan shalat jenazah untuk orang tersebut.
Tentu saja Arab Badui dalam ayat di atas tidak terkategori kelompok munafik. Lantas, kenapa Allah memerintahkan Rasulullah SAW. mengatakan mereka belum beriman tetapi baru Islam? Arab Badui hidup di pedalaman gurun pasir dengan perilaku yang cenderung kasar dan pengetahuan yang terbatas. Ada di antara mereka yang pernah kencing di dalam Masjid Nabawi sehingga menimbulkan kemarahan para sahabat dan nyaris mau dipukul. Akan tetapi oleh Rasulullah SAW. didekati dan diberi nasihat yang membuat Arab Badui tersebut sangat terkesan kepada Rasulullah SAW. sehingga masuk Islam. Saking terkesannya dengan pendekatan Rasulullah SAW., dia berdoa, "Ya Allah masukkanlah saya dan Rasulullah SAW. ke dalam surga dan tidak yang lain."
Karena hidup di gurun dan jarang berinteraksi dengan masyarakat luar, pemahaman mereka sangat terbatas. Itu pulalah sebabnya di awal keislamannya, mereka lebih menonjolkan amalan fisik dan kurang memahami esensi di balik amalan tersebut. Dalam konteks inilah Allah tidak hanya mengingatkan Arab Badui, tetapi juga seluruh kaum Muslimin agar tidak terjebak hanya pada amalan fisik, tetapi melupakan esensi di balik amalan tersebut. Bukankah sekarang banyak kaum Muslimin yang terjebak pada lahiriahnya shalat, tetapi abai akan esensi shalat sebagai pencegah perbuatan keji dan mungkar. Seolah shalat hanya seremonial ibadah yang kering makna dan tidak berdampak pada kehidupan nyata. Begitu juga puasa yang tidak mengantarkan pada ketaqwaan (kemampuan menjaga diri dari hal-hal yang dimurkai Allah) menandakan landasan penggerak puasa bukan keimanan yang bersemayam dalam hati. Terhadap hal ini, Rasulullah SAW. menegaskan,
"Betapa banyak orang yang puasa tiada lain yang dia dapatkan dari puasanya kecuali lapar dan dahaga."
Keimanan yang masuk ke hati adalah keimanan yang melahirkan keyakinan, bukan keraguan. Keimanan yang berbuah amal yang dilakukan dengan segenap kesungguhan dan pengorbanan. Buahnya adalah manfaat yang diperoleh orang lain dari kesalehan seorang Muslim. Bukankah Rasulullah SAW. menegaskan,
"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain."
Sebaliknya, banyak yang mengaku Muslim dan beriman tetapi abai terhadap kesulitan tetangga justru menjadi tanda gugurnya iman.
"Tidak beriman seorang kamu, jika dia tidur kekenyangan, sedangkan tetangganya merintih kelaparan." (Al Hadits)
Panggilan iman inilah yang membuat seorang Sa'id Al Muhafah membatalkan keberangkatan hajinya begitu mengetahui ada tetangganya yang berhari-hari kelaparan sebagaimana kisah berikut:
- Abu Abdurrahman Abdullah bin Mubarak, ulama terkenal di Mekah, pada suatu ketika setelah selesai menjalani salah satu ritus haji beristirahat dan tertidur. Dalam tidurnya, ia bermimpi melihat dua malaikat turun dari langit. Ia mendengarkan percakapan mereka. "Berapa banyak jemaah haji tahun ini?" tanya malaikat yang satu. "Tujuh ratus ribu," jawab malaikat kedua. "Berapa banyak yang ibadah hajinya diterima?" kata malaikat yang bertanya tadi. "Tidak satu pun," jawab malaikat yang kedua.
- Percakapan ini membuat Abdullah gemetar. Ia menangis dalam mimpinya. Semua orang telah datang dari belahan bumi yang jauh, dengan kesulitan yang besar dan keletihan di sepanjang perjalanan. Namun, semua usaha mereka menjadi sia-sia. Dengan gemetaran ia melanjutkan mendengar cerita kedua malaikat tadi. "Namun, ada seorang yang meskipun tidak datang menunaikan ibadah haji, tetapi hajinya diterima dan seluruh dosanya telah diampuni. Berkat dia, seluruh haji mereka diterima oleh Allah. Siapa orang tersebut? Sa'id bin Muhafah, tukang sol sepatu di Kota Damsyiq (Damaskus)."
- Mendengar ucapan itu, ulama ini langsung terbangun. Sepulang haji ia tidak langsung pulang ke rumah, tetapi menuju Kota Damaskus, Suriah. Sampai di sana dia langsung mencari tukang sol sepatu yang disebutkan malaikat dalam mimpinya. Sesampai di sana, Abdullah bin Mubarak menemukan tukang sol sepatu yang berpakaian lusuh. Ia pun menceritakan mimpinya. "Saya ingin tahu adakah sesuatu yang telah Anda perbuat sehingga berhak mendapatkan pahala haji mabrur." "Wah, saya sendiri tidak tahu." "Coba ceritakan bagaimana kehidupan Anda selama ini." Sa'id bin Muhafah bercerita, "Setiap tahun, setiap musim haji, aku selalu mendengar, 'Labbaika Allahumma labbaika, labbaika la syarika laka labbaik. Innal hamda wanni'mata laka wal mulka la syarika laka.' Setiap kali aku mendengar itu aku selalu menangis. Ya Allah aku rindu Mekah, Ya Allah aku rindu melihat Kabah. Izinkan aku datang ya Allah. Oleh karena itu, sejak puluhan tahun lalu, setiap hari saya menyisihkan uang dari hasil kerja saya sebagai tukang sol sepatu. Sedikit demi sedikit saya kumpulkan. Akhirnya tahun ini saya punya 350 dirham cukup untuk saya melaksanakan haji."
- Akan tetapi, Sa'id bin Muhafah batal berangkat haji. Waktu itu, istrinya yang sedang hamil dan mengidam mencium wangi masakan dan memintanya mencarikan sumbernya lalu minta sedikit untuknya. Temyata, sumber wangi masakan itu berasal dari gubuk yang hampir runtuh. Di situ ada seorang janda dan enam anaknya. Sa'id pun bilang pada janda tersebut bahwa istrinya ingin masakan yang dibuat wanita tersebut meskipun sedikit. Namun, janda itu berkata, "Makanan ini tidak dijual Tuan," katanya berlinang air mata. Janda itu pun menceritakan bahwa sudah beberapa hari ini mereka tidak makan karena di rumah tidak ada makanan. Hari itu mereka melihat keledai mati lalu diambil sebagian dagingnya untuk dimasak. Bagi mereka, daging itu halal karena kalau tidak memakannya, mereka akan mati kelaparan. Mendengar ucapan itu, spontan Said menangis lalu segera pulang. Ia ceritakan kejadian itu pada istrinya, dia pun ikut menangis. Lalu, mereka. memasak makanan dan mendatangi rumah janda itu. Uang peruntukan haji sebesar 350 dirham itu pun dia berikan kepada mereka.
- 'Ya Allah di sinilah hajiku. Ya Allah di sinilah Mekahku," ujar Sa'id Al Muhafah. Mendengar cerita tersebut, Abdullah bin Mubarak tak bisa menahan air mata sembari berkata, "Kalau begitu, engkau memang patut mendapatkan haji mabrur." ***